PENGARUH
OIL BOOM TERHADAP KEHIDUPAN
NEGARA
INDONESIA
Tugas
Mata Kuliah
PERPAJAKAN
Dosen
Pengampu: Joko kumoro, M. Si.
Disusun
Oleh:
Nama :
Veti Irma Yudhanti
NIM :
10402241005
Prodi :
Pend. Administrasi Perkantoran (A)
PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Oil Boom di mulai saat mengatasi krisis ekonomi
terbesar dalam sejarah ekonomi Indonesia tahun 1966, teknokrat diandalkan dalam
proses stabilisasi ekonomi. Dominasi teknokrat sangat tinggi pada saat itu dan
dibantu oleh kewibawaan almarhum Sultan Hamengkubuwono IX. Hampir semua kursi
kementerian ekonomi atau sekurang-kurangnya tingkat Sekretaris Jenderal
dikuasai oleh kelompok teknokrat. Dominasi ini terasa menurun pada tahun
1973-74 setelah Indonesia berhasil melepaskan diri dari tingkat inflasi yang
tinggi.
Ketahanan energi menjadi agenda yang semakin mendesak
bagi bangsa ini. Sebagai salah satu penggerak roda perekonomian, energi
memainkan peranan penting dalam ketahanan nasional. Apalagi, kompetisi dalam
memperebutkan sumber energi di antara negara-negara di dunia diperkirakan akan
semakin ketat. Ekspansi industri Cina dan India diperkirakan akan terus memacu
laju permintaan energi dunia yang berdampak pada kenaikan harga komoditas
energi. Hal ini sudah tampak dari kenaikan harga minyak dunia yang telah
mencapai tiga kali lipat selama empat tahun terakhir. Bahkan, awal tahun ini
harga minyak dunia sempat menembus 100 dolar AS per barel yang merupakan rekor
tertinggi setelah krisis minyak dunia pada awal 1980-an. Indonesia tercatat
sebagai salah satu negara yang memiliki sumber cadangan energi terbesar di
dunia. Bahkan untuk minyak bumi, Indonesia telah melakukan eksploitasi secara
komersial sejak tahun 1885, lebih dahulu dari kebanyakan negara di Timur
Tengah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Oil Boom ?
2.
Apa yang menyebabkan terjadinya Oil Boom ?
3.
Apakah pengaruh Oil Boom terhadap kehidupan negara
Indonesia ?
4.
Bagaimana solusi untuk mengatasi Oil Boom ?
C. Tujuan
1.
Dapat memahami pengertian Oil Boom.
2.
Dapat mengetahui penyebab terjadinya Oil Boom.
3.
Dapat mengetahui pengaruh Oil Boom terhadap kehidupan
negara Indonesia.
4.
Dapat mengetahui solusi untuk mengatasi Oil Boom.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Oil Boom
Oil Boom dapat diartikan menjadi dua pengertian yaitu :
1.
Oil Boom adalah equipment yang digunakan untuk
membendung tumpahan minyak yang terjadi di permukaan air sehingga tumpahan
minyak tidak menyebar meluas.
2.
Salamudin Daeng mengatakan, Oil boom adalah di mana
pada suatu masa minyak bumi menjadi primadona ekspor dan memberikan penghasilan
luar biasa bagi perekonomian nasional, tapi ketika masa keemasannya usai dan
cadangan mulai menipis serta harga mulai melambung, justru Indonesia menjadi
negara pengimpor minyak olahan.
Namun dalam makalah ini, hanya membahas oil boom yang
mempunyai arti di mana pada suatu masa minyak bumi menjadi primadona ekspor dan
memberikan penghasilan luar biasa bagi perekonomian nasional, tapi ketika masa
keemasannya usai dan cadangan mulai menipis serta harga mulai melambung, justru
Indonesia menjadi negara pengimpor minyak olahan.
B. Penyebab Terjadinya Oil Boom
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki
sumber cadangan energi terbesar di dunia. Bahkan untuk minyak bumi, Indonesia
telah melakukan eksploitasi secara komersial sejak tahun 1885, lebih dahulu
dari kebanyakan negara di Timur Tengah.
Saat Soeharto berkuasa, yaitu minyak sebagai sumber energi
utama waktu itu juga merupakan sumber dana berlimpah bagi program ekonomi dan
politik pemerintahan. Rezeki nomplok (Windfall Profit) dari oil boom diperoleh
karena kombinasi dari faktor-faktor seperti kenaikan harga minyak yang
fantastis selama beberapa kali di era 70-an dan 80-an, keanggotaan Indonesia
dalam OPEC (Organisasi Pengekspor Minyak Bumi) dan kesediaan rezim untuk
berbagi hasil dengan perusahaan minyak asing.Penerimaan negara secara langsung
dari minyak menjadi berlipat ganda ditambah dengan cadangan devisa yang terus
tersedia dari hasil ekspor minyak. Perusahaan minyak asing pun tidak
segan-segan menambah modal kerjanya secara besar-besaran masuk ke Indonesia.
Dampak tidak langsung yang bersifat lebih besar adalah
kesediaan banyak negara dan perusahaan asing memberi piutang serta melakukan
penanaman modal secara langsung ke berbagai sektor di Indonesia. Fenomena boom
minyak seolah menjadi semacam jaminan bagi modal yang mereka tanamkan di
Indonesia ataupun yang diutangkan kepada pemerintah Indonesia. Sebagaian dari
proyek asing tersebut memang berfungsi memperlancar operasi industri minyak di
Indonesia, misalnya berkaitan dengan infrastruktur listrik (jalan,
telekomunikasi, pembangkit listrik) dan nonfisik (ketersediaan tenaga kerja
yang dibutuhkan, kelancaran mekanisme perdagangan luar negeri dan modernisasi
perbankan).Di masa itu, pemerintah Indonesia berhasil memaksimalkan rezeki oil
boom bagi perkembangan perekonomian secara keseluruhan.
Pada saat mengatasi krisis ekonomi terbesar dalam sejarah
ekonomi Indonesia, teknokrat diandalkan dalam proses stabilisasi ekonomi.
Dominasi teknokrat sangat tinggi pada saat itu dan dibantu oleh kewibawaan
almarhum Sultan Hamengkubuwono IX. Hampir semua kursi kementerian ekonomi atau
sekurang-kurangnya tingkat Sekretaris Jenderal dikuasai oleh kelompok
teknokrat. Dominasi ini terasa menurun pada tahun 1973-74 setelah Indonesia
berhasil melepaskan diri dari tingkat inflasi yang tinggi.
Kemudian pada tahun 1981 hingga 1985 harga
minyak dunia terus menurun, sehingga memaksa pemerintah
menkaji ulang kebijakan industri. Keadaan demikian
diakhiri pada tahun 1985, di mana kebijakan pemerintah
yang memacu industri kemudian membawa indonesia ke
masalah pembayaran internasional. Baru pada tahun 1985, pemerintah
mengubah investasi pemerintah, campur tangan pemerintah,
dan industri subtitusi impor menjadi investasi swasta yang
berorientasi pasar dan bersifat promosi ekspor.
Keadaan kemudian berubah secara drastis hanya dalam waktu
setahun, ketika Indonesia mulai terkena resesi ekonomi, dari awal pertengahan
tahun 1997 hingga tahun 1998, angka-angka indikator makroekonomi berbalik
menjadi amat buruk. Nilai tukar rupiah merosot sangat tajam, pertumbuhan
ekonomi menjadi negatif, inflasi sangat tinggi, neraca pembayaran mengalami
defisit yang besar, serta cadangan devisa terkuras hampir habis. Segala
prestasi mengagumkan selama 30 tahun, sepertinya sirna begitu saja.
Saat ini minyak bumi tak dapat menjadi sumber energi utama
bagi Indonesia sebab jumlahnya yang terus menyusut dan kondisi sumur-sumur
minyak tersebut telah berumur tua ditambah lagi proses eksplorasi yang memakan
biaya dan waktu yang tidak sedikit relatif stagnan.
C. Pengaruh Oil Boom Terhadap Kehidupan Negara
Indonesia
Kenaikan harga minyak mentah dunia akan berdampak pada
kenaikan harga BBM non subsidi, seperti Pertamax dan Pertamax Plus. Seperti
juga turunnya harga minyak mentah dunia akan menurunkan harga BBM non subsidi
itu. Bagi Pemerintah, setiap kenaikan satu dolar AS harga minyak mentah,
seperti dikatakan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, akan meningkatkan subsidi
BBM sebesar Rp 2,6 triliun. Kenaikan harga disebabkan oleh hampir semua
konsumen minyak kebanyakan di negara industri di utara khatulistiwa. Terutama
konsumen di Amerika, Cina, dan Eropa (daerah-daerah dingin) sedang mengalami
musim dan suhu ekstrem, sehingga demand minyak menaik drastis. Hal lain, berkaitan
melemahnya dolar terhadap beberapa mata uang. Transaksi minyak adalah memakai
dolar, sehingga begitu turun nilai dolar kesempatan membeli minyak meninggi,
dan hal ini berdampak pada meningkatnya demand minyak dunia. Otomatis demand
naik, maka harga akan terkerek. Ketika harga akan menyentuh 100 dolar per
barel, pejabat-pejabat OPEC tidak seperti biasanya menaikkan produksi untuk
bisa menambah suplai sebagai upaya menurunkan harga, tetapi kali ini OPEC tetap
dengan kuota produksinya dan akan membiarkan harga bertengger di kisaran
terendah 100 dolar AS per barel. Tampaknya mereka ingin menikmati windfall,
rejeki nomplok dari kenaikan harga minyak mentah.
Secara mikro, fenomena booming sektor komoditas ini
dapat dilihat dari peningkatan kinerja secara signifikan yang dialami oleh
banyak perusahaan yang bergerak di industri CPO dan batu bara pada 2007.
Sedangkan secara makro, booming ini memberikan dampak yang positif, antara lain
berupa peningkatan kinerja ekspor.
Bagi Indonesia, sekali sekali, kenaikan harga minyak
mentah dunia, adalah "celaka" karena berarti harus menambah dolar
yang harus dikeluarkan. Dampak lain adalah kenaikan harga BBM non subsidi.
Dalam konteks ini ada sesuatu yang harus diwaspadai oleh Pemerintah dan
Pertamina, yaitu reaksi berlebihan masyarakat – terutama pemilik mobil yang tak
boleh lagi memakai BBM bersubsidi – yang kaget dengan dampak kenaikan harga
minyak mentah dunia terhadap harga BBM non subsidi. Ketika mereka beralih ke
BBM non subsidi, pada saat yang sama harganya naik. Situasi psikologi mereka
bisa kita pahami pada saat seperti itu. Tetapi hikmah di balik fenomena harga
minyak yang uncontrolable kita ini adalah, pelan-pelan melepaskan
ketergantungan kepada energi fosil dan gas bumi. Untuk ini tak cuma
sosialisasi, tapi tindakan nyata pengembangan energi alternatif.
Selain
itu, fenomena boom minyak seolah menjadi semacam jaminan bagi modal yang ditanamkan
di Indonesia ataupun yang diutangkan kepada pemerintah Indonesia. Sebagaian
dari proyek asing tersebut memang berfungsi memperlancar operasi industri
minyak di Indonesia, misalnya berkaitan dengan infrastruktur listrik (jalan,
telekomunikasi, pembangkit listrik) dan nonfisik (ketersediaan tenaga kerja
yang dibutuhkan, kelancaran mekanisme perdagangan luar negeri dan modernisasi
perbankan). Kenyataan yang terjadi awalnya memang berkesan amat menjanjikan dan
alur cerita seolah-olah akan sesuai dengan skenario di atas. Perekonomian
Indonesia yang tumbuh pesat terhitung sangat fantastis. Laju pertumbuhan
ekonomi sangat tinggi melampaui rata-rata kebanyakan negara, investasi
besar-besaran berlangsung di beberapa sektor, inflasi umumnya bisa
dikendalikan, neraca pembayaran dan cadangan devisa dalam posisi yang relatif
aman dan pengangguran perlahan-lahan bisa ditahan. Di masa itu, pemerintah
Indonesia berhasil memaksimalkan rezeki oil boom bagi perkembangan perekonomian
secara keseluruhan.
Kemudian pengaruh
Oil Boom yang lain yaitu :
1.
Oil Boom I
Oil
boom I yang memberikan tambahan dana bagi pembangunan telah mengundang
pemikiran alternatif atau tandingan. Pemikiran tandingan dari kelompok
nasionalis dan teknisi yang ingin melakukan lompatan ke depan dan mengembangkan
industri besar dan teknologi tinggi. Pusat pemikiran tandingan ini tersebar di
dua tempat, yaitu pada Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani dan di Pertamina
yang melahirkan Divisi Teknologi Pertamina. Divisi ini kemudian menjelma
menjadi BPPT. Produk dari pemikiran ini antara lain pabrik baja Krakatau Steel
generasi pertama dan beberapa pabrik pupuk yang sebagian besar praktis
terbengkalai karena tidak dilakukan dengan menggunakan analisis biaya-manfaat
yang benar.
Krisis
Pertamina tahun 1975 telah menaikkan kembali peran teknokrat. Ditambah lagi
dengan kasus Malari pada tahun sebelumnya telah mendorong pemerintah memberikan
kuasa penuh pada teknokrat untuk mengembangkan strategi pembangunan yang
berdimensi pemerataan. Hasil dari perubahan ini tercermin dari berbagai proyek
Inpres yang kemudian diakui telah banyak berperan dalam mengurangi tingkat
kemiskinan di Indonesia.
2. Oil Boom II
Oil
boom yang kedua tahun 1978 membuat pemerintah melalaikan disiplin anggaran
dan mendorong pemerintah kembali memberi angin kepada kelompok nasionalis dan
teknisi. Berbagai pos penting seperti BKPM, dan Departemen Perindustrian, diisi
oleh kelompok ini ditambah dengan dua pusat kekuatan baru yaitu Sekneg dan
BPPT. Industri-industri strategis yang terbengkalai kembali dilanjutkan dan
diperluas, namun sayangnya, sekali lagi kecuali PT Krakatau Steel, hampir semua
industri strategis ini masih belum mampu memenuhi harapan. Ketergantungan
keuangan dan pemasaran terhadap pemerintah masih sangat tinggi hingga dewasa
ini.
D. Solusi untuk mengatasi Oil Boom
Resesi ekonomi tahun 1982 yang disertai dengan
penurunan harga migas telah menyebabkan pemerintah menilai ulang strategi
pembangunannya. Sekali lagi seperti biasanya teknokrat diminta menjadi juru
selamat. Ekonom-ekonom yang umumnya mendominasi kelompok teknokrat ini,
mendorong proses deregulasi ekonomi yang dimulai pada tahun 1983 dengan membebaskan
regulasi pagu kredit dan suku bunga di sektor keuangan, dan upaya meningkatkan
daya saing serta pemberantasan ekonomi biaya tinggi. Salah satu kebijakan yang
spektakuler pada saat itu adalah penurunan fungsi Dirjen Bea Cukai dan
mengalihkannya pada perusahaan Swiss, SGS.
Hasilnya seperti kita lihat sekarang, kelancaran barang
dipelabuhan jauh lebih lancar. Dan yang lebih menarik lagi, penerimaan cukai
pemerintah meningkat walaupun tarif bea masuk diturunkan. Deregulasi tahun
1986-1990 cenderung struktural, artinya terjadi peningkatan proses transparansi
dalam transaksi ekonomi. Pengalihan tata niaga menjadi sistem tarif telah
membuat transaksi ekonomi lebih transparan dan efisien. Rente ekonomi dialihkan
dari swasta kepada pemerintah yang kemudian secara bertahap terus berkurang.
Yang menarik pula, deregulasi selama periode tersebut telah menumbangkan
sejumlah kelompok pencari rente, antara lain PT. Panca Holding yang menguasai
tata niaga bahan baku plastik dan PT Sarpindo yang menguasai impor bungkil kedelai-
yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan orang dapat disentuh.
Sosialisasi Pemerintah di balik kebijakan baru, akan
mengedepankan peran Kementerian ESDM karena ini menyangkut kebijakan makro
keenergian. Pertamina pasti akan membantu sosialisasi sebatas kewenangan
mengenai dampak terhadap harga BBM non subsidi. Sinergisitas yang seringkali
diupayakan Pertamina dan Pemerintah, harus benar-benar sinergi. Tak hanya salah
satu pihak saja yang aktif, sementara yang lain pasif. Tetapi hikmah di balik fenomena harga minyak yang uncontrolable
kita ini adalah, pelan-pelan melepaskan ketergantungan kepada energi fosil dan
gas bumi.
Untuk ini tak cuma sosialisasi, tapi tindakan nyata
pengembangan energi alternatif. Ada beberapa hal yang harus mulai dibenahi. Pertama
yakni perlu segera dikembangkan nilai tambah semaksimal mungkin dari barang dan
produk turunan yang berbasis pada minyak sawit. Kedua nilai tambah yang
dihasilkan jangan hanya terbatas pada kelompok tertentu yang memiliki akses
langsung pada budi daya kelapa sawit. Sehingga para pengusaha kelapa sawit
dalam skala besar mendapatkan nilai tambah paling tinggi, sedangkan kelompok
masyarakat yang lain tidak mendapatkan manfaat secara signifikan.
Alternatif energi berikutnya yang tersedia dan dapat
digunakan sebagai bahan bakar yakni BBG, namun itupun sayangnya saat ini tidak
memberikan pilihan kepada konsumen karena keterbatasan sarana. Fasilitas yang
tersedia saja semakin lama bukannya semakin bertambah melainkan semakin
berkurang, ditambah lagi tidak adanya insentif yang diberikan oleh pemerintah
bagi para penggunanya.
Salah satu hal yang tidak boleh juga kita lupakan
terkait ketahanan energi nasional adalah pengembangan energi alternatif. Sebab,
ketahanan energi nasional bukanlah sesuatu hal yang bersifat jangka pendek
namun sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan. Karena sifatnya yang tidak
dapat diperbaharui, oleh karenanya pemerintah baru – baru ini mencoba untuk
membuat kebijakan pengembangan energi alternatif di masa depan yang dapat
terlihat dari blue print pengelolaan energi nasional bertajuk Kebijakan energi
nasional sesuai dengan Peraturan Presiden No 5/2006. Pada tahun 2025 kelak,
peran minyak bumi sebagai sumber energi direncanakan menjadi maksimal 20
persen. Gas alam akan menjadi minimum 30 persen, batu bara menjadi 33 persen,
panas bumi dan biofuel menjadi 5 persen dan sumber energi terbarukan sebesar 5
persen. Selain soal diversifikasi energi, dalam cetak biru tersebut terpampang
rencana pengelolaan energi nasional sejak 2006 sampai 2025.
Dengan mengembangkan sumber energi alternatif,
Indonesia akan mengalami surplus energi. Sumber energi dari minyak bumi akan
menyumbang 927 ribu barel per hari, ditambah sumbangan dari gas alam yang
produksinya setara 700 ribu barel minyak per hari dan dari batu bara
produksinya setara dengan 2,6 juta barel minyak per hari. Dengan produksi
sumber energi tersebut, berarti terdapat produksi yang setara dengan 4,2 juta
barel minyak per hari. Padahal kebutuhan energi dalam negeri hanya 1,2 juta
barel per hari. Artinya, jika sumber-sumber energi seperti gas alam atau batu
bara benar-benar diberi perhatian oleh pemerintah, krisis energi dan
membengkaknya biaya akibat impor minyak bumi tidak pernah akan terjadi.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Oil boom adalah di mana pada suatu masa minyak bumi
menjadi primadona ekspor dan memberikan penghasilan luar biasa bagi
perekonomian nasional, tapi ketika masa keemasannya usai dan cadangan mulai
menipis serta harga mulai melambung, justru Indonesia menjadi negara pengimpor
minyak olahan.
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki
sumber cadangan energi terbesar di dunia. Bahkan untuk minyak bumi, Indonesia
telah melakukan eksploitasi secara komersial sejak tahun 1885, lebih dahulu
dari kebanyakan negara di Timur Tengah. Namun, saat ini minyak bumi tak dapat
menjadi sumber energi utama bagi Indonesia sebab jumlahnya yang terus menyusut
dan kondisi sumur-sumur minyak tersebut telah berumur tua ditambah lagi proses
eksplorasi yang memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit relatif stagnan.
Sehingga menimbulkan kenaikan harga minyak mentah dunia akan berdampak pada
kenaikan harga BBM non subsidi, seperti Pertamax dan Pertamax Plus.
Pemerintah baru – baru ini mencoba untuk membuat
kebijakan pengembangan energi alternatif di masa depan yang dapat terlihat dari
blue print pengelolaan energi nasional bertajuk Kebijakan energi nasional
sesuai dengan Peraturan Presiden No 5/2006. Pada tahun 2025 kelak, peran minyak
bumi sebagai sumber energi direncanakan menjadi maksimal 20 persen. Gas alam
akan menjadi minimum 30 persen, batu bara menjadi 33 persen, panas bumi dan
biofuel menjadi 5 persen dan sumber energi terbarukan sebesar 5 persen. Selain
soal diversifikasi energi, dalam cetak biru tersebut terpampang rencana
pengelolaan energi nasional sejak 2006 sampai 2025.
DAFTAR PUSTAKA